Purbaya Sindir Kebijakan Cukai Rokok, Tanya Nasib Pekerja Industri Tembakau

Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa saat konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (19/9/2025). (Foto: Dok. Ist)

linfo.id, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa mengaku terkejut mengetahui tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang berlaku saat ini. Ia mengungkapkan, tarif rata-rata cukai rokok telah mencapai 57 persen, angka yang dinilai sangat tinggi.

Purbaya menyampaikan keterkejutannya saat berdiskusi dengan para bawahannya mengenai tren kenaikan tarif CHT beberapa tahun terakhir. Berdasarkan laporan yang ia terima, kenaikan tarif secara akumulatif sudah berada pada level yang cukup tinggi.

Bacaan Lainnya

“Saya tanya, kan, cukai rokok gimana? Sekarang berapa rata-rata? 57 persen, wah tinggi amat, Firaun lu,” kata Purbaya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (19/9/2025).

Menurut Purbaya, tingginya tarif CHT justru menekan penerimaan negara. Ia menyebut, saat tarif lebih rendah, pendapatan negara dari sektor cukai cenderung lebih tinggi.

“Terus, kalau turun gimana? Ini bukan saya mau turunin ya, cuma diskusi. Kalau turun gimana? Kalau turun makin banyak income-nya. Kenapa dinaikin kalau gitu?” ujarnya.

Meski begitu, Purbaya menegaskan bahwa kebijakan tarif CHT yang tinggi selama ini diambil pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok.

“Rupanya, kebijakan itu bukan hanya income saja di belakangnya. Ada policy memang untuk mengecilkan konsumsi rokok. Jadi, kecil lah, otomatis industrinya kecil, kan? Tenaga kerja di sana juga kecil. Oke, bagus. Ada WHO di belakangnya,” tegasnya.

Di sisi lain, Purbaya menilai kebijakan CHT yang tinggi selama ini belum sepenuhnya memikirkan nasib tenaga kerja yang bergantung pada industri rokok. Ia mengkritisi belum adanya program pemerintah untuk memitigasi pekerja yang terdampak.

“Apakah kita sudah buat program untuk memitigasi tenaga kerja yang menjadi nganggur? Programnya apa dari pemerintah? Enggak ada. Loh kok enak? Kenapa buat kebijakan seperti itu? Itu diskusinya di sana,” kata Purbaya.

Purbaya menekankan, selama belum ada program penyerap tenaga kerja pengganti, pemerintah tidak seharusnya mematikan industri rokok.

“Kalau gitu, nanti kita lihat. Selama kita enggak bisa punya program yang bisa menyerap tenaga kerja yang nganggur, industri itu enggak boleh dibunuh, itu kan hanya menimbulkan orang susah aja, tapi memang harus dibatasin yang ngerokok itu,” tutupnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *