Linfo.id, JAKARTA – Kebijakan Payment ID Bank Indonesia Picu Kekhawatiran Publik Jakarta – Belum usai kegelisahan masyarakat terkait pemblokiran rekening dormant, kini publik kembali diresahkan oleh rencana Bank Indonesia (BI) untuk menerapkan kebijakan Payment ID.
Kebijakan ini memungkinkan BI mengontrol dan mendeteksi seluruh lalu lintas transaksi masyarakat, baik melalui perbankan, e-wallet, maupun e-commerce, dengan menghubungkan setiap transaksi ke Nomor Induk Kependudukan (NIK) individu.
Menurut Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia, Tulus Abadi, kebijakan ini berpotensi melanggar hak asasi warga negara. “Instrumen Payment ID dapat menabrak hak-hak warga negara, termasuk pelanggaran rahasia perbankan, kenyamanan dan keamanan konsumen dalam bertransaksi, serta perlindungan data pribadi nasabah,” ujarnya.
Ia menilai BI terlalu jauh memasuki ranah privat warga, yang dapat mengancam hak asasi manusia. Tulus juga mempertanyakan motif di balik kebijakan ini.
“Patut diduga, Payment ID hanya dijadikan alat untuk menggenjot pendapatan pajak, namun ironisnya dengan mengorbankan hak asasi warga negara,” tegasnya.
Ia menyarankan pemerintah menggali potensi pajak dari pembayar pajak kelas kakap, baik korporasi maupun individu kaya, ketimbang menerapkan kebijakan yang meresahkan masyarakat. Kebijakan Payment ID sendiri belum menjadi standar global. Hanya lima negara, yakni Singapura, Swedia, India, Brasil, dan China, yang telah menerapkannya.
Tulus memperingatkan bahwa penerapan gegabah instrumen ini dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan dan transaksi digital. “Keberlanjutan ekonomi digital terancam, dan ujungnya justru merugikan masyarakat dan negara,” katanya.
Tulus mendesak BI untuk mengurungkan rencana penerapan Payment ID. “BI sebaiknya mempertimbangkan dampak jangka panjang kebijakan ini terhadap kepercayaan publik dan stabilitas ekonomi digital,” tutupnya.