Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) terus mencari solusi untuk menekan biaya haji agar lebih terjangkau tanpa mengurangi kualitas pelayanan bagi jemaah. Salah satu langkah yang sedang dikaji adalah mengurangi durasi perjalanan haji bagi jemaah Indonesia yang selama ini mencapai 40 hari.
Rekomendasi ini sejalan dengan hasil kajian Panitia Kerja (Panja) Haji DPR RI 2025 yang menilai durasi haji yang panjang berkontribusi terhadap tingginya biaya perjalanan. Wacana ini dibahas dalam rapat konsultasi yang digelar di Muamalat Tower, Jakarta, bersama berbagai pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, serta beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan otoritas Arab Saudi.
Anggota Bidang Investasi Surat Berharga dan Emas serta Analisis Portofolio BPKH, Indra Gunawan, menjelaskan bahwa salah satu penyebab lamanya masa tinggal jemaah haji Indonesia adalah keterbatasan infrastruktur di bandara Jeddah dan Madinah yang dikelola oleh General Authority of Civil Aviation (GACA) Arab Saudi.
“Proses keberangkatan dan kepulangan jemaah haji membutuhkan waktu lama karena antrean panjang di bandara, baik saat datang maupun pulang,” ujar Indra di Jakarta, Rabu (15/1/2025).
Selain itu, faktor geografis Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau serta kondisi mayoritas jemaah yang berusia lanjut juga menjadi tantangan tersendiri dalam manajemen perjalanan haji.
Untuk jangka pendek, BPKH mengusulkan optimalisasi bandara yang sudah ada di Arab Saudi dengan mengalihkan sebagian penerbangan jemaah Indonesia ke bandara lain guna mengurangi kepadatan di Jeddah dan Madinah.
Sementara itu, untuk jangka panjang, diperlukan investasi besar dalam pembangunan bandara, terminal, hingga rumah sakit guna meningkatkan kapasitas layanan bagi jemaah. “Investasi ini perlu dukungan dari Kementerian Keuangan serta koordinasi dengan berbagai pihak agar dapat berjalan optimal,” kata Indra.
Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu, Ramadhan Harisman, menambahkan bahwa tersedianya terminal dan bandara baru akan membantu mempercepat mobilisasi jemaah serta meningkatkan layanan kesehatan, terutama bagi lansia yang membutuhkan fasilitas medis lebih baik.
“Jika ada bandara dengan miqat yang lebih dekat, maka durasi perjalanan haji bisa lebih singkat, yang pada akhirnya akan berdampak pada efisiensi biaya,” jelasnya.
Selain infrastruktur, BPKH juga berencana mengembangkan investasi di sektor ekosistem haji dan umrah, termasuk pertanian, pariwisata, dan kuliner. Indra menyebutkan bahwa BPKH akan menggandeng BUMN dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk membangun *Kampung Haji Indonesia* di Arab Saudi.
“Ini adalah langkah strategis untuk menjadikan haji lebih mudah, murah, serta aman dan nyaman dengan mengoptimalkan dana umat yang saat ini mencapai Rp170 triliun,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan, Capt. M. Mauludin, mengungkapkan bahwa bandara alternatif yang sedang dikaji saat ini masih memiliki keterbatasan, hanya dengan dua landasan pacu (runway) yang kapasitasnya belum mencukupi.
“Diperlukan investasi tambahan agar bandara ini dapat menampung lebih banyak jemaah dan memperlancar arus keberangkatan serta kepulangan,” jelas Mauludin.
Anggota Dewan Pengawas BPKH, Heru Muara Sidik, berharap rencana pengembangan bandara dan optimalisasi perjalanan haji ini dapat segera diwujudkan agar jemaah Indonesia bisa mendapatkan layanan yang lebih efisien.
“Jika ada bandara dan miqat yang lebih strategis, mobilisasi jemaah akan lebih mudah dan murah. Ini saatnya kita berkolaborasi untuk mewujudkan terobosan ini,” katanya.
Dengan berbagai inisiatif ini, diharapkan penyelenggaraan ibadah haji ke depan semakin efisien, berkualitas, dan lebih terjangkau bagi seluruh umat Islam di Indonesia