linfo.id – Dalam situasi perang, aktivitas politik dan ekonomi, propaganda kerap dilakukan dalam membangun opini publik. Propaganda merupakan upaya yang sistematis dan terencana yang dilakukan secara berulang dalam menyampaikan pesan untuk memengaruhi dan mengubah pandangan, pendapat dan tingkah laku (Bachtiar et al., 2016). Tujuannya jelas. Salah satunya, menumbuhkan kebencian terhadap musuh.
Salah satu propaganda, khususnya yang dilakukan pada masa perang adalah propaganda kekejaman atau atrocity propaganda. Propaganda ini melakukan penyebaran informasi tentang kejahatan yang dilakukan oleh musuh; mungkin bersifat faktual namun seringkali menampilkan rekayasa atau membesar-besarkan sebuah informasi dengan disengaja.
Salah satu bentuk propaganda kekejaman (atrocity propaganda) belum lama ini dilakukan oleh Israel. Pada 10 Oktober 2023, dunia digemparkan dengan pemberitaan yang dilakukan oleh media Israel, i24 yang menyatakan bahwa Hamas telah membunuh dan memenggal bayi dan anak-anak.
Berita tersebut kemudian disampaikan kembali oleh Presiden AS, Joe Biden. Ia mengatakan bahwa telah mengonfirmasi foto-foto pemenggalan anak-anak oleh teroris. “I have confirmed pictures of terrorists beheading children.”
Pernyataan tersebut kemudian diklarifikasi oleh seorang pejabat pemerintahan AS yang mengatakan kepada CNN bahwa baik Biden maupun para pembantunya tidak pernah melihat foto-foto atau menerima laporan mengenai informasi pemenggalan tersebut.
Seperti dikutip dari republika.co.id, pemerintah Israel pun tak bisa mengonfirmasi kebenaran soal klain bahwa para pejuang Hamas melakukan pemenggalan terhadap bayi dan anak dalam serangan pada 7 Oktober 2023. Juru bicara Hamas pun telah membantah tuduhan tersebut.
Hal tersebut diperkuat dengan investigasi yang dilakukan Anadolu. Agensi berita yang bermarkas di Turki itu kemudian menghubungi militer Israel melalui telepon untuk menanyakan klaim tersebut. Juru bicara mereka mengatakan, “Kami telah melihat beritanya, tetapi kami tidak memiliki rincian atau konfirmasi mengenai hal itu.”
Menyusul pemberitaan Anadolu mengenai tuduhan tersebut, beberapa jurnalis internasional memposting di X yang mengonfirmasi bahwa klaim tersebut tidak benar. Seorang reporter Prancis yang berbasis di Jerusalem, Samuel Forey, mengatakan pada X bahwa dia berada di pemukiman Kfar Aza, yang terletak kurang dari 2 kilometer (1,2 mil) dari timur laut Gaza, pada Selasa tetapi tidak ada yang menyebutkan dugaan pemenggalan kepala tersebut. (https://mediaindonesia.com/internasional/620741/hoaks-hamas-penggal-puluhan-bayi-hiasi-berita-utama-media-barat)
Permainan Bahasa
Kasus tersebut hanya satu yang dapat terlihat tentang bagaimana propaganda yang dilakukan Israel. Narasi lain yang dibangun media barat adalah apa yang terjadi di Palestina saat ini akibat Hamas yang menyerang Israel terlebih dulu. Melupakan fakta bahwa selama lebih dari 70 tahun mereka telah menjajah Palestina.
Salah satunya ketika presenter Sky News mewawancarai seorang jurnalis dari Palestina, Yara Eid. Sebelum memulai wawancara presenter tersebut menyebutkan “It has been two weeks since Hamas first launched its attack on Israel. 1400 people killed since then. Palestinian officials say that more than 4000 people have died in Gaza.”
Yara kemudian meluruskan pernyataan presenter tersebut. Menurutnya, bahasa sangat penting dalam menjelaskan sebuah kondisi. “I think language is important to use. As a journalist, you have more responsibility to report what’s happening. Palestinians don’t just die, they get killed.”
Dalam wawancara tersebut, Yara juga menegaskan dan mengklarifikasi framing yang kerap muncul bahwa apa yang terjadi adalah akibat perbuatan Hamas. Bahwa apa yang terjadi di Palestina saat ini bukanlah diakibatkan oleh peristiwa 7 Oktober melainkan perlawanan terhadap penjajahan yang telah terjadi selama 75 tahun di Palestina dijajah oleh Israel. “They are actually being subjected to ethnic cleansing, genocide for the last 75 years. And you mentioned that this Hamas-Israel war. This is not. And framing it as such is very misleading because it poses the thing that Israel is an equal power but it’s an occupying power.”
Aktivis Palestina, Maimon Herawati dalam sebuah diskusi menambahkan bahwa selain menguasai media-media di Amerika, menjalin hubungan baik dengan elit politik merupakan strategi yang dilakukan untuk menguatkan propaganda tersebut.
Mempelajari dari Berbagai Sumber
Bagi mereka yang tidak mengikuti perkembangan di Palestina, tidak sedikit yang mempercayai dan akhirnya “memaklumi” bahwa apa yang Israel lakukan merupakan sebuah balasan. Percakapan di media sosial, bahkan di Indonesia, sempat mengemuka oleh sebagian warganet.
Pro kontra tentang peristiwa di Gaza atau pembunuhan warga sipil di wilayah Palestina adalah bentuk keberhasilan Israel dalam menanamkan ghozwul fikr atau perang pemikiran dan informasi terhadap seluruh warga dunia tak terkecuali di Indonesia. Israel yang jelas menjajah, merebut tanah Palestina dan membunuh warga justru kerap kali seperti menjadi korban dan Hamas yang melakukan perlawanan sporadis dikonotasikan sebagai teroris yang menyusahkan kedua belah pihak.
Kita, khususnya umat islam di Indonesia, harus memiliki nalar dan literasi yang baik tentang peristiwa di Gaza dan sejumlah wilayah di Palestina. Bersifat skeptis untuk berita yang diturunkan media barat dan tidak menelan mentah-mentah informasi yang mereka berikan. Tidak mempercayai begitu saja pemberitaan media barat (AS dan Eropa) karena banyak konglomerat media di dua wilayah itu adalah keturunan Israel atau mereka sudah bekerjasama dengan Israel.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk mendapatkan alternatif informasi dan mengimbangi pemberitaan dari media mainstream asing adalah dengan memanfaatkan media sosial untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya terjadi dari mereka yang tinggal di sana, mengetahui kondisi yang terjadi dan memiliki kesamaan visi.
Ada beberapa warga Indonesia yang menjadi Youtuber atau content creator yang bisa memberikan informasi tentang situasi di Palestina seperti Bang Onim dan Muhammad Husein Gaza. Di Instagram, beberapa akun media sosial seperti Smart171, Adara Relief, dan beberapa lembaga kemanusiaan lain bisa menjadi referensi sebelum menelan mentah-mentah pemberitaan yang menyudutkan Palestina. (Aprilina Prastari)